Menata (Ulang) Politik Koadhatino melalui Pilkada Muna

  • Bagikan
Rahmat Hidayat
Rahmat Hidayat, Alumni Sekolah Staf Presiden Tahun 2022

Nusawarta.idOpini. Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memetakan kerawanan Pilkada Sultra menjadi 7 isu strategis yang diwaspadai yaitu isu pelaksanaan pemungutan suara, distribusi logistik pemilihan, adjudikasi dan keberatan, keamanan, otoritas penyelenggara Pemilu, netralitas ASN, dan money politic.

Berdasarkan 7 isu tersebut, Bawaslu Sultra kemudian menetapkan 7 dari 17 kabupaten dan kota di Sultra sebagai daerah rawan Pilkada. Dimana, menurut tingkat kerawanannya, daerah-daerah rawan Pilkada dimaksud meliputi Kota Kendari, Kabupaten Muna, Konawe Selatan (Konsel), Kolaka, Wakatobi, Muna Barat (Mubar), dan Konawe Utara (Konut).

Sebagai daerah urutan kedua dengan tingkat kerawanan tinggi, Kabupaten Muna secara kuantitatif tidak hanya menunjukan potensi gangguan dalam hal netralitas ASN maupun money politic melainkan secara kualitatif juga menampakkan potensi disharmonisasi sosial. Hal ini terkonfirmasi dengan gaya interaksi hate speech antar pendukung calon kepala daerah (Cakada) di media sosial (medsos) terutama facebook.

Kondisi masyarakat yang demikian, seperti yang digambarkan Abdul Muhid, dkk (2019) yang hasil penelitiannya dipublikasi melalui Jurnal Atlantis Press, mengemukakan bahwa hate speech atau ujaran kebencian dan berita hoaks memberikan dampak yang signifikan terhadap pemikiran dan toleransi antara pengguna medsos. Tentu hate speech di medsos tak lain merupakan manifestasi kehidupan masyarakatnya.

Demikian di Kabupaten Muna, meskipun dengan entitas budaya yang homogen, akan tetapi ujaran kebencian seperti yang terpantau dalam grup medsos seperti facebook tidak terhindarkan bahkan merembes hingga ke kehidupan nyata.

Masyarakat pengguna medsos dengan akar budaya dan peradaban yang kuat ini lebih menikmati larut dalam polarisasi aksi ofensif sesama masyarakat dengan narasi kebencian yang tidak berfaedah ke rival pasangan calon maupun sesama pendukung lain daripada fokus pada interaksi transfer gagasan masing-masing Cakada atau membangun politik koadhatino.

Melawan ‘Arus’ Birokrasi

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan di luar momentum politik, arus birokrasi atau tuntutan kerja pimpinan dengan berbagai latar belakang identitas aparaturnya dapat dimaklumi sebagai suatu yang wajar. Maka, sudah selayaknya bila pada masa pesta demokrasi daerah sistem komando semacam ini harus dilawan.

Baca Juga  Ancaman Tersembunyi di Kota Intan: Mewaspadai Kriminalitas Anak di Kota Banjarmasin

Kaitannya dengan itu, bila melihat data BPS Kabupaten Muna yang bersumber dari BKN, pada tahun 2023 terdapat setidaknya terdapat 5.106 ASN yang mengisi 8 jabatan pimpinan hingga fungsional di berbagai instansi pemerintahan Muna. Angka tersebut belum termasuk tenaga honorer lintas instansi, aparatur pimpinan dari 22 kecamatan, dan 151 desa/kelurahan se-Kabupaten Muna.

Tingginya potensi kerawanan Pilkada di wilayah ini, bukan tidak mungkin asumsi ketidaknetralan ASN dan aparatur pembantu pemerintah dapat terjadi. Apalagi selama ini perbedaan sikap politik oleh ASN selalu berujung pada demosi hingga mutasi dengan pengucilan di daerah terpencil. Transaksi politiknya tidak hanya berputar pada money politic, melainkan juga angan-angan tukar guling jabatan.

Namun sebagai rakyat sipil yang mendominasi pemilih di Pilkada Muna mendatang, apa yang perlu dikhawatirkan pada sekitar 3 persen dari 156.552 jiwa DPT?

Jumlah kelompok ASN bahkan tidak menyentuh di angka 5 persen DPT. Artinya selaku rakyat non aparatur yang mencapai 95 hingga 97 persen dari DPT, mestinya tidak ada beban untuk melepas diri dari berbagai tekanan fungsional birokrasi pemerintahan. Alasan hubungan emosional juga harus diabaikan dalam praktik perjalanan Pilkada yang melanggar.

Melawan arus birokrasi harus ditandai dengan kesadaran tentang tidak adanya kewajiban fungsional rakyat terhadap aparatur pemerintah. Karena dalam urusan public service, sepatutnya rakyatlah yang berhak menerima pelayanan aparatur.

Barter Aspirasi, Bukan Uang

Setiap suara masyarakat Kabupaten Muna dalam momentum Pemilu atau Pilkada menjadi komoditas yang mahal. Masyarakat yang sadar akan potensi itu, secara naluri tak jarang membangkitkan instingnya sebagai ekonom. Sehingga, selain dari kalangan ASN, tidak sedikit keterlibatan masyarakat pada kerja-kerja politik dalam menghimpun masa didasarkan pada kalkulasi nilai agregasi menjelang serangan fajar.

Hasut-menghasut kelompok atau tim pemenangan yang mestinya diarahkan untuk branding kandidat atas rekam jejak, visi misi dan program, serta efektifitas koneksinya dengan pemerintah pusat dalam menjalankan program, malah berbelok menjadi hate speech hingga adu jumlah serangan fajar.

Tak heran tuntutan masyarakat menjelang pencoblosan selalu berputar pada nominal yang diiming-imingkan. Seolah-olah sudah menjadi haknya dan tak ingin merugi, nominal serangan yang tidak dapat dipenuhi seringkali jadi alasan abstain sementara, dan celah ini sering dimanfaatkan tim pemenangan Cakada lain untuk mengkonversinya sebagai tambahan suara dengan transaksi yang sama. Efeknya, pergeseran suara pun tak dapat dihindarkan dalam kondisi ini.

Baca Juga  Membangun Kemandirian Pangan: Langkah Menuju Ketahanan Pangan di Majalengka

Barter suara dengan uang seperti yang disebutkan di atas sebenarnya dapat dihindari bila masyarakat mendapat edukasi lebih intens dari pihak-pihak yang berkepentingan terutama penyelenggara dan cakada bersama tim pemenangan. Pencerahan politiknya ialah dengan memberikan pengertian bahwa aspirasi lebih berefek jangka panjang untuk kesejahteraan kolektif dibanding penerimaan nominal yang tidak seberapa dan sesaat di momennya.

Sebagai salah satu daerah di Sulawesi Tenggara dengan tingkat resiko money politic yang tinggi, transaksi politik di masyarakat Muna harus dibangun dengan barter suara untuk aspirasi, bukan uang. Interpetasi transaksi itu bisa dalam bentuk kebijakan, program, infrastruktur, tenaga kerja, atau lainnya yang sekiranya bermanfaat jangka panjang bagi kesejahteraan bersama. Praktiknya bisa dalam skala besar wilayah atau skala kecil seperti desa.

Bagaimana pun, sebagai masyarakat beradat dan beradap, ego individual mesti dikesampingkan dalam ranah politik di atas witeno barakati. Maka penting menjadikan sandaran berpikir hansuru-hansuru badha sumano kono hansuru liwu dalam melepas ego di atas kepentingan publik.

Kembali ke Falsafah Leluhur

Dalam mewujudkan politik koadhatino, masyarakat harus berani bersikap dalam melawan arus birokrasi dan melakukan barter suara politik dengan aspirasi, bukan uang. Sikap tersebut penting diaktualisasikan dalam gerak kolektif yang saling mendukung dan menguatkan dalam satu kesatuan melalui kontestasi Pilkada kali ini.

Oleh karena itu, terminologi “po” dalam istilah linguistik Muna yang dapat diartikan sebagai ‘upaya bersama’ atau ‘saling’, perlu dikembalikan pada akar falsafah leluhur yang hampir hilang, terutama dalam praktik-praktik politik yang melibatkan elemen masyarakat berbudaya.

Reposisi falsafah pobini-biniti kuli (saling tenggang rasa), poangka-angka tau (saling menghargai), poma-masigho (saling sayang-menyayangi), dan poadha-adhati (saling menghormat) harus diaktualisasikan lagi dalam segala aspek interaksi kehidupan bermasyarakat, terutama dalam momen Pilkada seperti saat ini.

Baca Juga  Refleksi Akhir Tahun 2024: SMSI Memperluas Jaringan Internasional

Praktik politik koadhatino dengan sandaran filosofis di atas dan nilai-nilai luhur lainnya penting menjadi pijakan dasar untuk menentukan takdir politik masyarakat Muna dalam 5 tahun ke depan hingga seterusnya, siapapun pemimpin daerah terpilih nantinya.

Tanpa maksud mendahului kehendak Tuhan, kita harus yakin bahwa keseriusan bersikap dan optimisme masyarakat dalam menata ulang politik koadhatino akan mengembalikan lagi kejayaan Muna sebagai witeno barakati sebagaimana dahulu. Tentu segala sebab kemunduran hingga kehancuran masa lalu perlu dihadapi dengan perbaikan, serta tidak menutup diri dari moderenisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Masa depan Muna dan kesejahteraan kolektif ada di tangan masyarakatnya saat di bilik suara. Selamat memilih pemimpin terbaik untuk daerah !

*) Oleh : Rahmat Hidayat, Alumni Sekolah Staf Presiden Tahun 2022

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *