Nusawarta.id – Banjarmasin. Beberapa hari terakhir, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) cenderung turun terus dengan sedikit fluktuasi. Pertanyaannya adalah apakah ini tanda-tanda Indonesia akan mengalami krisis keuangan seperti tahun 1997/1998. Jawabannya bisa ya dan bisa tidak, dan sangat tergantung dengan bagaimana pemerintah mengelola APBN dan ekonomi makro, serta kepercayaan pasar terhadap pemerintah.
Oleh Prof. Muhammad Handry Imansyah, M.A.M., Ph.D
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat
Pertama, memang gejolak mata uang terjadi di hampir semua negara terhadap mata uang dolar AS. Namun, anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mungkin salah satu yang terbesar. Karena itu Indonesia perlu waspada terhadap gejolak kurs ini berkelanjutan. Harus diidentifikasi mengapa sampai anjlok.
Bila kadang-kadang masih terjadi penguatan, itu adalah kemungkinan intervensi Bank Indonesia di pasar untuk menunjukkan BI hadir di pasar. Operasi pasar BI hanya bersifat smoothing untuk mengatasi overshooting dalam jangka pendek.
Salah satu kemungkinan juga adalah turunnya confidence pasar terhadap Pemerintah di dalam mengelola APBN. Pemerintah baru dengan terpilihnya Prabowo Subianto yang punya program makan siang gratis agak mencemaskan kepercayaan pasar. Program baru tersebut berpotensi melebarnya defisit fiskal sehingga akan menerbitkan surat hutang yang lebih besar. Dengan demikian, hal ini akan mengganggu keberlanjutan fiskal.
Ketidakpastian perekomomian dunia juga memberikan kontribusi pada melemahnya Rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, berubahnya struktur lembaga pajak dan bea cukai menjadi lembaga baru di bawah Presiden bisa menjadi salah satu pemicu juga, karena restrukturisasi berpotensi mengurangi penerimaan ketika dalam masa transisi. Namun, Pemerintah sekarang sudah berpengalaman dalam menangani potensi krisis karena telah memiliki sistem peringatan dini krisis keuangan.