Nusawarta.id – Rusia. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum Pusat negara Rusia (CEC), Presiden Petahana Vladimir Putin berhasil menang telak pada Pilpres 2024, karena mampu meraih hingga 87,28 persen suara. Dengan ini, maka Vladimir Putin telah memenangkan Pilpres kelima kalinya, sejak pertama kali menjadi presiden Rusia pada tahun 2000.
Menurut data CEC, lawan-lawan dari Vladimir Putin hanya meraih suara yang sangat minor, seperti Nikolay Kharitonov hanya memperoleh 4,31 persen suara, sementara Leonid Slutsky mendapatkan 3,20 persen, dan Vladislav Davankov cuma meraih 3,85 persen suara.
Dilansir dari media Antaranews pada Selasa (21/3/2024), Putin berterima kasih kepada masyarakat karena menaruh kepercayaan kepadanya untuk 6 tahun ke depan. Putin berjanji untuk melanjutkan perang sampai Rusia bisa mencapai tujuannya.
Pilpres tersebut berlangsung ketika perang di Ukraina memasuki tahun ketiga, membuat Rusia berada dalam konfrontasi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang telah menerapkan serangkaian sanksi.
Eropa Kecam Pelaksanaan Pilpres Rusia
Setelah CEC mengumumkan hasilnya, sejumlah negara Eropa mengecam pelaksanaan Pilpres Rusia. Salah satunya adalah Prancis yang mengecam pelaksanaan Pilpres Rusia yang masuk dalam wilayah Ukrania. Prancis menilai hal tersebut merupakan bentuk tindakan pelanggaran kedaulatan.
“Mereka melaksanakan Pemilu di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia, yakni Republik Otonom Krimea, Kota Sevastopol, dan juga sebagian daerah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Prancis.
Krimea dan Sevastopol diduduki Rusia sejak 2014. Sedangkan kawasan Ukraina lainnya dicaplok Rusia secara ilegal pada September 2022 setelah negara tersebut melancarkan serangannya ke Ukraina pada Februari 2022.
“Pelaksanaan Pemilu ilegal di daerah Ukraina yang diduduki Rusia tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional dan Piagam PBB. Oleh karena itu kami tidak akan mengakuinya, baik itu pelaksanaan Pemilu maupun hasilnya” ucap Kemlu Prancis.
Selain itu, Prancis juga mengecam kurangnya demokrasi dan keberagaman calon presiden, serta keengganan Rusia mengundang pengamat asing dalam pilpresnya. “Calon-calon yang menentang keberlanjutan perang di Ukraina tidak diizinkan ikut serta dalam Pemilu, sehingga mengurangi tingkat pluralisme (calon),” ungkap Kemlu Prancis.
Senada dengan itu, Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengecam pelaksanaan pilpres Rusia di wilayah Ukraina yang diduduki. Hal itu merupakan pelanggaran kedaulatan Ukraina yang bertentangan dengan Piagam PBB. Cameron juga mengecam pengekangan yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin yang berupaya membungkam oposisi terhadap perang di Ukraina yang ilegal.
Negara Jerman juga mengkritik pilpres Rusia dan menyebut pemilu tersebut pada dasarnya tidak bebas maupun adil. Juru bicara pemerintah Jerman Christiane Hoffmann mengatakan, Kanselir Olaf Scholz tidak akan menyampaikan ucapan selamat kepada Putin yang memenangi Pemilu itu.
“Tentu saja kami tidak akan mengakui hasilnya karena hanya Ukraina yang berhak mengadakan pemilu di daerah tersebut. Selain itu, Pemilu tersebut tidak demokratis karena tidak ada calon yang dinilai benar-benar mewakili pihak oposisi,” tutur Hoffmann. (Arm/Red)