Tanggapan atas Fenomena “Curi Start” dalam Pemilukada 2024

  • Bagikan

Oleh: Prof. Dr. Ahmadi Hasan, M.Hum
Pengajar Politik Hukum S3 Ilmu Syariah Pasca Sarjana UIN Antasari Banjarmasin

Belakangan ini, perhatian publik tertuju pada isu dugaan “curi start” oleh salah satu peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2024, yang diduga melakukan kegiatan silaturahmi dan pengerahan aparat desa sebelum masa kampanye resmi dimulai. Beberapa lembaga pemantau pemilu di Banua turut menyuarakan kekhawatiran terkait hal ini. Dalam kapasitas akademik, kami ingin memberikan pandangan berdasarkan perspektif hukum dan etika politik.

Aspek Hukum

Secara normatif yuridis, kegiatan yang dikemas dalam bentuk silaturahmi dan pengerahan dukungan kepada salah satu pasangan calon belum secara tegas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pasal yang mengatur secara spesifik tentang kegiatan seperti ini di luar masa kampanye.

Oleh karenanya, bagi penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk memberikan peringatan atau sanksi terhadap pelaksana kegiatan tersebut.

Dalam konteks ini, berlaku asas legalitas hukum, di mana tindakan dapat dinyatakan melanggar hukum hanya jika ada ketentuan yang jelas yang mengaturnya. Saat ini, masa kampanye belum resmi dimulai, yang menurut ketentuan akan dimulai pada 25 September 2024.

Kecuali kegiatan tersebut melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat negara yang dilarang terlibat dalam politik praktis, maka Bawaslu memang harus menjalankan tugas pengawasan. Akan tetapi, selama tidak ada keterlibatan aparat yang melanggar hukum, sulit bagi penyelenggara pemilu untuk mengambil tindakan.

Aspek Etika dan Moral

Meskipun tidak ada pelanggaran hukum, fenomena “curi start” ini secara etika dan moralitas demokrasi dapat dinilai sebagai sebuah cacat moral.

Dalam demokrasi yang sehat, seharusnya setiap pasangan calon mengedepankan sikap yang patut dan menjunjung tinggi etika politik. Tindakan seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik serta meningkatkan tensi antarpendukung yang bisa berdampak pada stabilitas keamanan di daerah.

Baca Juga  Nilai Tukar Rupiah Terus Turun, Guru Besar ULM Ingatkan Bahaya Krisis Ekonomi

Dalam konteks Kalimantan Selatan, kita memiliki sejarah politik yang aman dan stabil. Oleh karena itu, tindakan yang berpotensi mencederai iklim demokrasi yang sehat harus dihindari.

Fenomena “curi start” dapat merusak citra politik serta memperburuk pandangan publik terhadap calon pasangan yang seharusnya menjadi teladan bagi pemilih.

Pendidikan Politik yang Sehat

Pemilukada bukan hanya sekadar proses rutin dalam memilih pemimpin daerah, tetapi juga momen penting untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.

Pemilih harus dijadikan subjek yang aktif dalam proses demokrasi, bukan sekadar objek transaksi politik yang manipulatif. Para calon pemimpin diharapkan dapat memberi contoh yang baik dengan menjaga etika politik dan moralitas, serta memastikan bahwa atmosfer politik tetap kondusif dan sehat.

Keteladanan dalam politik sangat penting untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik. Jika setiap pihak memperhatikan aspek etika dalam berkontestasi, maka kita telah mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Dalam hal ini, menjaga moralitas demokrasi adalah salah satu langkah penting untuk menuju pemilihan yang aman, jujur, dan berkualitas. Allahu a’lam. (Red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *