Nusawarta.id – Saat ini Indonesia tengah disibukkan dengan penyelenggaraam pesta demokrasi 5 tahun sekali yakni Pemilihan Umum, yang mana pemilu pada 2024 nanti akan kembali diselenggarakan dengan serentak. Salah satu tujuan dari pemilu serentak ini adalah untuk melahirkan praktek koalisi partai politik yang bersifat permanen.
Keberadaan koalisi partai politik di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh UUD NRI Tahun 1945 khususnya pada Pasal 6 ayat 2 yang menyebutkan “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pada negara yang menganut sistem Presidensial koalisi bukanlah suatu keharusan, akan tetapi, karena di Indonesia memiliki “Presidential Threshold” maka koalisi ini menjadi suatu keniscayaan bagi partai politik yang tidak memenuhi angka Presidential Threshold.
Praktek koalisi di Indonesia, selama ini dibentuk atas dasar keterpaksaan dan tuntutan keadaan politik, sehingga wajar saja apabila melahirkan pola koalisi partai politik yang mengarah pada pragmatisme (sebagaimana penelitian Indra, M, 2011). Sejalan dengan hal ini Hugh F. Halverstadt berpandangan bahwa koalisi merupakan suatu aliansi yang sifatnya sementara di sekitar agenda bersama atau nilai-nilai bersama. Koalisi bukanlah merupakan kumpulan kesepakatan yang sifatnya permanen dan mencakup segala sesuatu (dalam penelitian Kunkunrat dan Ade Priangani, 2019).
Contoh konkret praktek koalisi partai politik yang bersifat pragmatis dapat dilihat pada pemilu serentak 2019 silam khususnya terkait pilpres, terdapat dua kubu pasangan capres dan cawapres yakni kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin diusung oleh koalisi Indonesia kerja yang terdiri dari PDI-P, PKB, PPP, Golkar, Hanura, Nasdem, Perindo, dan PSI. Sedangkan pada kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didukung oleh koalisi Indonesia Adil Makmur yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Akan tetapi, setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 2019 silam, koalisi partai politik pada kubu Prabowo dan Sandiaga Uno bergeser merapat pada kubu Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, hingga tersisa dua partai politik yang memilih menyandang status sebagai partai politik oposisi yaitu PKS dan Demokrat.
Koalisi yang dilakukan pasca pemilu, bukanlah koalisi yang didasarkan pada kesamaan visi-misi, ataupun ideologi partai politik, melainkan hanya demi memperoleh kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan atau dengan kata lain hanya didasarkan pada power sharing (bagi kekuasaan), hal ini lah yang menyebabkan partai politik dengan gampangnya merubah haluan koalisinya, sehingga wajar saja apabila koalisi partai politik di Indonesia bersifat pragmatis.
Salah satu akibat pragmatisme dalam praktek koalisi di Indonesia adalah terjadinya ketimpangan antara keberadaan partai politik pemerintah dan oposisi, yang mana selama ini di Indonesia selalu didominasi oleh partai politik pemerintah, padahal keberadaan partai oposisi dalam negara demokrasi begitu diperlukan yakni salah satunya sebagai pengingat atau pengawas pemerintah yang sedang berkuasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa dalam demokrasi yang sehat di perlukan check and balance, karena itu diperlukan semacam kekuaatan pemantau dan penyeimbang, sebab dari pandangan yang agak filosofis, manusia itu tidak mungkin selalu benar. Partai oposisi adalah wujud modern dari ide demokrasi dan jika kelompok itu tidak diakui, yang terjadi adalah mekanisme saling curiga dan cendrung melihat oposisi sebagai ancaman”.(Nurcholish Madjid,: 1998. 65)
Selain itu Nurcholis Madjid atau populer dipanggil Cak Nur, menganggap pentingnya oposisi, karena baginya tanpa oposisi yang kuat, kontrol terhadap pemerintah sulit diwujudkan, para politisi akan cendrung tenggelam dalam gairah pragmatisme. Karena mereka merasa punya legitimasi yang kuat (lewat pemilu lansung) dan ini memiliki pondasi yang kuat untuk menyalahgunakan kekuasaan, dan sistem demokrasi akan mudah dibajak oleh kekuatan oligarki yang senantiasa mengedepankan kepentingan kelompok dan individu. (Bawasluinhil:2020)
Lemahnya partai politik oposisi di Indonesia, menyebabkan rakyat berjuang sendiri untuk mengawasi dan mengingatkan pemerintah yang berkuasa, bahkan seringkali rakyat berjuang sendiri untuk menyalurkan suara mereka ke pemerintah. Padahal salah satu fungsi vital partai politik adalah menjadi jembatan antara pemerintah dengan rakyat, akan tetapi, karena partai politik pemerintah dibentuk dengan koalisi yang pragmatis dan hanya didasari pada kekuasaan, maka fungsi ini seringkali dilupakan oleh partai politik dan menyebabkan rakyat berjuang sendiri dalam menyuarakan suaranya.
Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam menjalani berbagai pemilihan umum, dari pemilu yang memisahkan antara pemilu legislatif dan eksekutif hingga menjadi pemilu serentak pada tahun 2019, membuat Indonesia semakin matang dalam hal pengalaman menyelenggarakan pemilu. Karena itu untuk menyambut pemilu serentak tahun 2024, sudah seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman pemilu serentak tahun 2019, yang mana pada saat itu sangat nampak sifat pragmatis pada praktek koalisi partai politik, sehingga, persoalan koalisi partai politik yang bersifat pragmatis ini haruslah segera di atasi dan dicarikan solusi guna melahirkan demokrasi yang sehat.